14.10.08

the ring


Kulangkahkan kaki ke dalam areal pertokoan yang penuh dengan manusia berbagai bentuk, kedua mataku melirik tajam setiap perhiasan emas yang dipajang teratur dalam kaca etalase. Escalator di depan berhasil membujukku untuk menaikinya, ya, siapa tahu saja, di lantai satu kawasan pertokoan ini ada sasaran yang sedang kucari. Satu, dua, tiga etalase-etalase yang sarat dengan perhiasan terbuat dari emas itu kulewati, dan aku belum memutuskan di mana aku akan memulai aksiku?

Toko-toko itu terlalu ramai oleh para pembeli, aku merasa tidak nyaman beraksi di antara orang banyak. Ah, itu dia, di sudut sebelah kanan terdapat sebuah toko emas yang tidak terlalu ramai, penjaganya pun hanya dua orang wanita muda berjilbab. Sepertinya aksiku lebih mudah jika kulancarkan di toko ini. Mudah-mudahan perkiraanku tak meleset. Kuhampiri perlahan, sambil tetap menatap tajam ke berbagai arah. Salah seorang dari penjaga toko emas tersebut menyapaku dengan ramah. Aku tak bergeming, hanya ulas tipis senyum yang kuhadiahkan padanya. Mataku terlalu sibuk mencari benda itu, benda yang hampir beberapa pekan ini selalu mengusik pikiranku. Bagaimanapun aku harus mendapatkannya.

Aku menatap lebih dalam, mencari yang mana yang kira-kira cocok. Kedua penjaga berjilbab itu menatapku diam-diam, hati-hati, dan curiga. Ya, aku dapat merasakannya, mereka mencurigaiku, apakah gerak-gerikku terlalu mencurigakan. Tas berisi laptop hadiah itu ku cengkram kuat. Khawatir terjadi sesuatu. Akhirnya, salah seorang dari mereka mulai menyapaku lagi.

“cari apa mas?” katanya, dengan nada ramah yang terlalu dipakasakan, hmm, kamuflase. Pikirku. Aku belum juga menjawabnya. Sebaliknya, aku malah terus menekuri sebuah benda dalam etalase itu, sebuah cincin berwarna putih yang berhasil mecuri perhatianku. Penjaga toko itu sepertinya mengikuti arah tatapanku. Dia ikut mencermati cincin yang kutatap, meski sembunyi-sembunyi. Dari sudut yang lain, seorang laki-laki bertubuh tegap bersergam putih dan sebuah pentungan kayu ditangannya, berjalan ke arahku. Aku tak ambil pusing dengan itu. Aku hanya berfikir bagaimana caranya mendapatkan cincin itu. Aku tak perduli dengan satpam itu.

Fyuuh, ini ketiga kalinya aku masuk pertokoan emas seperti ini, setelah dua kali sebelumnya mengantarkan ibuku untuk menjual perhiasan emasnya guna membayar uang ujian sekolahku. Tapi itu dulu sekali, 7 tahun yang lalu saat aku masih duduk di SMU. Dan sekarang, aku kembali berada di jajaran toko emas untuk sebuah tujuan yang lain, yaitu mendapatkan sebuah cincin. Bukan menjualnya.satpam itu sudah berlalu melewatiku, semakin menjauh. Hmm, aman. Inilah saat yang tepat untuk memulai aksiku.

Aku menatap sekelilingku, tak ada yang memperhatikan kami, dan aku mulai beraksi
“Mbak, kalo cincin mas putih, segramnya berapa ya?” tanyaku. Langsung tanpa basa-basi.
“yang mana ya?” penjaga toko itu balik bertanya.
“Yang itu tuh..!!” telunjukku menunjukkan sebuah cincin mungil putih di sebuah sudut. Dengan cekatan ia mengambilnya dan menyerahkannya padaku.
“Yang ini?” Tanyanya kembali. Aku meraihnya, mengamati lingkaran kecil itu dengan seksama. Ya, sebuah cincin mas putih yang akan ku berikan pada seorang Bidadari sebagai mahar, sebuah cincin yang sangat sederhana, dengan nilainya yang sederhana pula, baik secara harfiah dan nominal. Tapi menyimpan esensi yang begitu besar, begitu dahsyat. Sebuah pesan cinta terukir di dalamnya, dua nama pemenang di pahatkan dalam lingkarannya. Segera kubayar lunas harga cincin tersebut. Perasaanku lega kini. Sebuah cincin putih telah ku persiapkan untuk mahar di acara walimahanku lusa nanti. Kunamai cincin itu “The Princes Of The Ring”

Tidak ada komentar: