3.9.08

Gadis Kecil di Nagoya


Saat pertama kali menginjakkan kaki di pulau Batam — yang dibangga-banggakan karena dalam puluhan menit kita bisa menyeberang ke luar negeri Singapura ? aku sempat kecewa. Nama Nagoya yang terdengar begitu khas, tak lebih hanya sebuah kawasan perdagangan kecil. Terlalu kecil dibandingkan dengan daerah perdagangan jalan Dr. Sutomo di Medan. Sampai harus berkali-kali aku bertanya pada diriku, inikah Nagoya? Yang kukagumi dari Nagoya hanya satu jenis makanan, Bak Kut The. Sejenis sop daging campur dengan ramuan obat dan akar-akaran. Dimakan panas-panas memang nikmat. Konon makanan ini diperkenalkan lagi-lagi dari Singapura juga. Itulah cerita tentang Nagoya di benakku, lima tahun yang lalu.

Akhirnya sekarang aku mengakui, Nagoya memang bukanlah sekedar Nagoya. Kini di sinilah pusat jajan dan makanan terlengkap. Begitu masalah makan, maka cukup meluncur ke sini. Oleh karena itu, begitu jalan ke Nagoya selalu ada makanan apa saja yang kubeli. Roti prata, martabak india, bubur hongkong, cakue dan entah apa lagi. Itupun aku borong dengan tergesa-gesa di saat jam makan siang. Begitu banyak pekerja kantoran dari daerah industri di Batam Center, Kabil, Muka Kuning, bahkan Tanjung Uncang bertumpuk di sini hanya untuk makan siang. Sama seperti aku.

Dalam beberapa tahun Nagoya sanggup menyulap wajahnya dengan begitu dramatis. Bahkan sekarang pembangunan Superblok Nagoya Hill sudah mulai dilaksanakan. Di sinilah nanti kebanggaan Nagoya semakin mencuat. Apartemen dengan suite mewah, food junction, city walk, cinema dan fasilitas yang tak pernah ada sebelumnya akan bertahta di sini. Jadi lima tahun lagi mungkin Nagoya sama dengan Parco Bugis Junction Singapura. Atau malah manyaingi Orchrad Road? Yang jelas Nagoya yang kukenal berkembang pesat di luar dugaan.

Di balik semua itu ternyata Nagoya juga menyimpan sepotong cerita yang tawar, kalaupun tidak bisa dikatakan pahit.

Di sini jugalah aku gali kisah kehidupan seorang gadis kecil penjual buah bernama Kalinda. Dia salah satu bocah kecil yang berada di Nagoya bukan untuk mencicipi aneka makanan di sana, tapi justru berjuang untuk mendapatkan sesuap nasi dengan susah payah.

?Kak, mari-mari Kak. Buahnya murah dan manis-manis. Boleh dicicip dulu. Silahkan. Silahkan?! gadis kecil dengan rambut ikal sebahu lincah menawarkan sebuah jeruk ke arahku. Sebenarnya aku agak terusik, karena di trotoar mal ini dia menghalangi langkah kakiku. Tapi ada sesuatu yang menghentikanku. Mataku tertuju pada bayi kecil dalam gendongannya.

?Jeruk ini manis sekali, Kak! Cobalah. Cuma tujuh ribu sekilo??bujuknya penuh harap.

Di sudut Nagoya yang ramai itu, ada Kalinda yang menguras banyak keringat demi sesuap nasi. Ia menggendong adiknya sambil berlari ke sana-sini menawarkan buah dagangannya. Ada jeruk, apel, mangga, manggis dan alpokat. Semua tersusun di lantai beralaskan kardus bekas. Lalu di sampingnya ada botol susu, rantang nasi dan beberapa helai celana bayi. Sedetik aku hanya terpaku pada bocah itu.

Aku jongkok dan dengan setengah hati mulai memilih beberapa jeruk dan alpukat. Tujuananku hanya ingin tahu mengetahui banyak tentang dirinya.

?Ibumu kemana, Dik?? tanyaku seraya mengamati wajah kecilnya yang hitam terbakar terik matahari. Usianya, mungkin sekitar tujuh tahun. Keringat yang membasahi wajahnya terlihat berkilat-kilat.Dengan baju merah yang sudah terlihat sangat kusam, gadis kecil itu lebih mirip pengemis jalanan. Melihat tubuh kecilnya yang masih harus mengendong sang adik kesana-sini mungkin akan langsung membuat orang jatuh kasihan.

?Ibu sakit, Kak. Ada di rumah.?

Sedetik kemudian bayi dalam gendongannya menggeliat bangun, dengan sigap gadis kecil itu meraih botol susu dan segera menyusuinya. Ditepuk-tepuknya pelan sang adik sambil mendendangkan lagu ?Balonku?

Untuk sesaat aku hanya terpana.

?Silahkan dipilih, Kak?? ujarnya begitu menyadari aku hanya terdiam. Ia melihatku, seolah-olah takut aku tidak jadi membeli.

Begitu polos pancaran mata itu, oh? tak sanggup aku menatapnya. Apakah ada kegetiran yang disimpannya di balik semua itu?

.

?Bapak kerja di mana??

?Bapak tukang ojek, tuh?. Ada di simpang sana!? telunjuk kecil itu menunjuk ke seorang bapak paro baya di pangkalan ojek. Setelah itu terdengar tawa riangnya, ada kebanggaan terbias dari wajahnya. Dia bangga, mungkin karena bapaknya ada dekat dengannya. Melihatnya. Walaupun tidak berada di sampingnya. Dan dari tawa itu aku merasakan adanya kerinduan yang seolah tak tersampaikan. Kerinduan akan kasih orang tuanya. Sepertinya ada yang hilang dari kehidupan gadis kecil Kalinda. Ya, masa kecilnya yang ceria, Masa dimana semestinya dia merasakan hangatnya pelukan ibu dan indahnya rangkulan sang ayah. Semua itu sudah jatuh dari angan-angannya! Sejak ibunya terkena stroke?

..

Hatiku seperti tergores. Pedih?!

Kalinda kecil mengerjakan hampir semua pekerjaan rumah, yang sebelumnya adalah tanggung jawab ibunya. Tangan kecil itu memasak, mencuci, mengasuh adik bayinya dan juga merawat ibunya! Aku tak sanggup membayangkan bagaimana ia bisa melakukannya. Namun dengan segala keterbatasan dan kemampuan yang seadanya dia telah menjalankan semua yang harus dijalaninya. Tanpa ada air mata. Tanpa keluhan. Yang terbaca dari sorot matanya hanya sebentuk kerinduan, bukan penderitaan. Tak lebih.

?Kalinda cuci baju bapak juga, karena bapak pulang malam sekali. Bapak capek?? ceritanya sambil tersenyum. Apakah dia tahu bahwa hidup seperti ini terlalu pahit baginya, setidaknya bagi aku yang melihatnya?

Perlahan airmata menitik dari sudut mataku. Adilkah semua ini baginya?.

Sungguh aku tak tahu harus berbuat apa. Kukeluarkan dua lembar uang seratusan ribu dan segera menyodorkan padanya, ?Kalinda simpan ini, ya. Untuk beli susu dan makanan?.

Tuhan, maafkan aku. Itulah satu-satunya uang yang tersisa di dompet di akhir bulan seperti ini. Aku tak bisa berbuat apa-apa untuknya.

Sedetik kemudian aku terpaku, Kalinda kecil menolaknya pelan. Dia memang bukan pengemis, Dia tidak minta dikasihani. Dia sangat menghargai dirinya, menghargai adik dalam gendongannya, menghargai ibunya dan juga bapaknya. Dia menghargai keluarganya, dan berharap semua orang juga bersikap sama sepertinya.

?Kalinda punya celengan untuk beli susu adik dan makanan, Kak. Juga untuk beli pensil dan buku, Kalinda juga ada celengan untuk sekolah nanti?? Astaga, aku bahkan tak sempat bertanya apakah gadis kecil ini sekolah atau tidak.

?Kalinda akan sekolah, supaya bisa jadi dokter. Kalinda akan menyembuhkan ibu?? sekali lagi ia tersenyum manis, dengan sangat penuh harapan. Pengharapan yang sangat besar bahwa suatu saat sang ibu bisa menggerakkan kedua tangan untuk memeluknya lagi. Akan ada seorang ibu yang mengajarnya menulis dan membaca.

Penghasilan sang ayah sudah disisihkannya untuk biaya sekolahnya nanti. Untuk itu bapaknya mengojek sampai tengah malam. Untuk itu ia harus rela kehilangan waktu berkumpul bersama ayah yang sangat dibanggakannya.

Tuhan ! Sesederhana itukah cita-citanya untuk menjadi seorang dokter bisa tercapai? Kalinda memang memiliki dunianya sendiri yang hanya bisa dijangkaunya sendiri, di dalam mimpi-mimpinya. Di dalam pengharapannya yang besar. Tak seorangpun bisa mengusiknya. Karena masa depannya akan diukirnya mulai hari ini. Selama Tuhan berkenan menjaganya dan memberinya kesempatan untuk meraih semua impiannya, aku percaya suatu saat semua itu akan terwujud. Karena dia memiliki sesuatu yang tak dimiliki setiap orang, jiwa kecil yang berhati kuat. Suatu hari seorang Kartini akan terlahir kembali. Dan dia bukan Kartini biasa.

Dengan sangat girang Kalinda membungkus semua buah yang aku beli hari itu. Semua itu akan kubagikan nanti. Aku bahagia melihatnya begitu gembira. Aku telah berusaha menghargai keinginannya. Selembar uang lima puluh ribu diterimanya dengan penuh rasa terima kasih.

Bagaikan seekor burung kecil, Kalinda terbang menjelajahi angkasa. Tanpa perlu takut kelaparan, atau kehujanan, ataupun tersesat. Dia hidup di alam yang penuh dengan kebebasan. Tak ada ketakutan di dalamnya, Tak ada penderitaan yang akan merobek hatinya sehingga ia harus menangis. Dunianya sungguh-sungguh penuh pengharapan. Sepertinya di tahu, setiap saat dia telah menggantungkan tangannya maka Tuhanlah yang akan menjaganya supaya tak jatuh.

.

Dia percaya Tuhan pasti menjaganya.

Tidak ada komentar: