16.11.08

Taaruf, Pacaran secara Islam

Masih meneruskan artikel sebelumnya tentang indahnya menikah, kali ini aku akan bercerita tentang ta’aruf, cara “berpacaran” ala islami. Mungkin istilah berpacaran ini kurang tepat karena sejatinya apa yang terjadi dalam taaruf ini berbeda jauh dengan pengertian berpacaran kaum muda jaman sekarang. Tapi, agar mudah ditangkap, biarlah istilah ini aku pakai.

Islam merupakan agama yang sempurna, yang mengatur segala urusan hidup seluruh manusia. Menikah merupakan aturan dalam Islam yang sangat indah maknanya, untuk kehidupan kini dan nanti. Menikah merupakan salah satu bentuk upaya manusia untuk mempertahankan jenisnya, memperoleh keturunan, dan mengendalikan salah satu sifat dasar manusia yang jika diumbar akan merusak sendi-sendi kehidupan bermoral : syahwat! Dengan menikah, nafsu syahwat ini bisa terkendali dan tersalurkan secara benar.

Islam sangat memperhatikan proses penyebaran keturunan ini dan mengatur persoalan menikah secara detil.Bagaimana memilih pasangan yang cocok, bagaimana tindak lanjut ketika sudah menemukan pasangan, bagaimana tatacara pernikahan, apa persyaratannya, dan sampai ke hal-hal setelah pernikahan, yakni kehidupan berumah tangga, semuanya diatur oleh Islam dengan demikian indahnya.

Kalau selama ini kita mengenal pacaran, yakni proses pengenalan terhadap calon pasangan kita, Islam mengatur proses perkenalan ini sebagai taaruf. Jangan membayangkan bahwa kedua proses ini sama kecuali namanya saja yang berbeda. Pengertian di benak setiap orang tentang pacaran sangat berbeda dengan proses taaruf. Konotasinya juga berbeda. Proses bernama pacaran membolehkan untuk berduaan, berpegangan tangan, berpelukan, bahkan sampai berciuman. Astaghfirullah… Yang lebih parah lagi, ada yang sampai melakukan hubungan yang hanya boleh dilakukan oleh pasangan suami istri. Naudzubillah!! Alasannya biar lebih mengenal calon pasangannya luar dalam. Kalau cocok ya diterusin, kalau tidak ya… bubar. Nah lo, siapa yang dirugikan kalau sudah begini.

Proses taaruf jelas berbeda dari pengertian pacaran seperti tersebut di atas. Islam mengatur perkenalan antar calon pasangan dengan saling silaturahmi antar keluarga, untuk mengenal keturunan sang calon pasangan. Dalam adat Jawa, mengenal keturunan calon pasangan ini dikenal dengan istilah bibit, yakni asal sang calon. Setelah mengetahui calon pasangan berasal dari keturunan baik-baik, saatnya mengenal sang calon sendiri. Biasanya dijelaskan oleh keluarganya tentang kelebihan dan kekurangan orang dimaksud. Kalau belum puas hanya dengan mendapat keterangan dari keluarga, kita bisa bertanya kepada tetangga atau orang lain yang mengenalnya sehingga informasi yang diperoleh lebih obyektif. Di Jawa dikenal dengan istilah bobot. Kalau kita sudah merasa sreg dengan orang yang kita pilih, dengan mengetahui keturunan, sifat-sifat, serta kelebihan dan kekurangan calon pasangan (bibit, bebet, bobotnya bagus), maka proses taaruf ini sudah selesai dan dilanjutkan ke tahapan berikutnya yakni meminang.

Mungkin ada yang bertanya-tanya, bagaimana mungkin proses perkenalan yang hanya selintas dan kurang mendalam demikian dapat membuat rumah tangga langgeng. Rumah tangga adalah sebuah proses menyatukan 2 hati, 2 pikiran, dan 2 keluarga yang sudah pasti banyak perbedaannya untuk menuju 1 tujuan, yakni kebahagiaan hidup dunia dan akhirat. Apa mungkin keharmonisan berumah tangga dapat tercapai kalau prosesnya seperti taaruf?

Secara gampang kita dapat menjawab pertanyaan tersebut dengan melemparkan pertanyaan lain : Apakah pasangan yang melalui proses pacaran (dalam pengertian umum) lebih menjamin keutuhan dan keharmonisan dalam hidup berumah tangganya? Kenyataan menunjukkan bahwa proses perkenalan yang katanya lebih mendalam melalui pacaran, tidak menjamin kelanggengan hubungan rumah tangga. Lebih banyak perceraian (meskipun tidak ada data yang valid) dari pasangan yang melalui proses berpacaran dulu. Berdasarkan pengalaman, lebih awet pasangan orang-orang tua kita yang notabene menikah karena dijodohkan dibandingkan dengan generasi penerusnya yang menikah karena pilihan sendiri dan menjalani proses pacaran.

Kalau aku pribadi lebih melihat apa latar belakang dan tujuan seseorang menikah. Jika seseorang menikah karena mencintai secara fisik (cantik, tampan, elok, gagah) pasangannya, bisa diramalkan hubungannya tidak akan lama karena fisik pasti berubah seiring perjalanan waktu dan perasaan cinta yang demikian sangat cepat merasakan kebosanan. Jika seseorang menikah karena perasaan (nafsu, syahwat dengan penghalusan bahasa menjadi cinta), hubungannya juga tidak bakal langgeng karena perasaannya akan gampang berpindah ke lain hati. Jika seseorang menikah karena harta, hubungannya juga tidak akan lama karena harta sifatnya tidak kekal. Namun, jika seseorang menikah karena ingin memperoleh keturunan dan berdasarkan keyakinan (menunaikan perintah Allah dan mengikuti sunah Rasulullah), keyakinannya ini akan membawa kepada usaha untuk mempertahankan rumah tangganya dari segala macam cobaan demi mencapai keluarga bahagia seperti yang diidam-idamkannya.

Anda termasuk yang mana?

Tidak ada komentar: