30.6.09

BimBang dan RaGu

Aku, seorang laki-laki. Kumiliki semua. Jalan luas membentang di depanku, siap aku tapaki satu persatu. Seorang gadis cantik di sebelahku, ceria, menghibur dan selalu mengajakku bicara. Kurang apa lagi?

Tidak ada!

Lantas, kenapa hatiku begitu berat?

Kelegaan yang sesaat aku rasakan ketika bertemu dengan gadis ini pudar, menguap, terbungkus rasa kosong. Semakin jauh kaki ini melangkah, semakin hambar. Aku bahkan tak bisa memahami cara gadis itu bicara, terlalu cepat. Indera penglihatanku mulai mengabaikan kecantikannya yang segar. Pikiran dan hatinya? Aku tak bisa menjawab! Aku tidak tahu soal yang satu itu. Aku tidak mengenalnya. Tapi, bukankah aku baru sesaat bersamanya, pasti butuh waktu untuk mengenal seseorang bukan? Ya. Pasti! Aku mencoba menghibur diriku dengan jawaban itu.

Gadisku pun sepertinya mengalami kesulitan yang sama. Ia banyak bertanya, sekedar agar tahu apa yang kuinginkan. Dan aku harus menjawabnya, ia tak bisa membaca pikiranku. Ia juga meminta aku bertanya tentangnya, agar kami saling memahami.

Kalian pernah bermain puzzle? Kita harus menyatukan keping gambar, menyusunnya satu persatu hingga membentuk satu gambaran utuh. Kemarin, saat berada di rumah perempuan itu, aku berhasil menyatukan kepingan demi kepingan. Memang ada satu keping yang tercecer, kucari-cari, tapi tepat saat dia membangunkanku, dan mengatakan ada seorang gadis menungguku, kepingan itu telah berada digenggamanku. Tinggal aku letakkan pada tempatnya, bahkan tanpa harus bertemu gadisku. Sedangkan saat ini, aku seperti dihadapkan pada sebuah puzzle baru, yang gambar panduannya pun aku tak tahu! Parahnya, intuisiku pun menolak menebak gambar apa yang harus aku susun.

Ada yang salah.

Bukan, bukan ini yang aku inginkan.

Aku tiba-tiba tersengal. Aku seperti terjebak dalam arus yang aku buat sendiri, nyaris tenggelam.

“Hai… ”

Sebuah gamitan di tangan, membangunkanku dari lamunan.

“Kau sedang memikirkan apa?” gadisku bertanya.

Aku tak bisa menjawab. Tidak mau, tepatnya. Bukankah keputusanku juga untuk mengikutinya sampai titik ini?

“Jawablah pertanyaanku. Kulihat kau terus melamun. Kaki-kakimu melangkah ke depan, tapi hatimu tertinggal.”

Aku tercekat mendengar kata-katanya, “Darimana kau tahu itu?”

Ia tersenyum. Barangkali geli dengan kenaifanku.

“Aku ini juga perempuan. Aku tahu. Aku tidak menemukannya di sini,” ia menjawab sambil menunjuk dadaku.

Aku tergagap, diam, tak mampu berkata-kata. Ia benar.

“Ayolah, katakan apa yang kau rasakan, apa yang kau pikirkan.”

“Aku memikirkan perempuan itu.”

Ia tersenyum

“Tidak hanya itu. Kau juga memikirkan hatimu yang tertinggal di sana.”

Aku terperangah oleh kelantangan kata-katanya. Kutatap wajah gadis itu. Kucari makna keterusterangannya. Adakah ia terluka mengatakan kenyataan yang baru saja ia sampaikan? Dan sekali lagi aku merasa sangat tolol karena tak bisa membaca isi hatinya.

“Tidak. Kau tak perlu membacaku. Aku akan mengatakannya…”

Aku terdiam, terpaku. Apapun, dalam diriku merasakan, tak lama lagi aku pasti akan menyisakan segurat kesedihan di hati gadis itu.

Lagi, ia tersenyum melihat keraguanku.

“Duduk di situ yuk!” katanya sambil menggandengku ke tepi jalan, duduk di antara akar-akar pohon yang bertonjolan.

Matahari tak begitu terik. Ia hanya mengusap lembut tepian-tepian daun pohon, menyisakan sekumpulan bayangan rindang yang menyelimuti kami.

Aku duduk bersandar di batang pohon itu, memejamkan mata. Aku resapi aura tenang yang dipancarkannya.

“…Kau tahu kenapa aku datang kepadamu?” suara gadis itu membuyarkan kenikmatan sesaatku.

Aku buka mata. Kutatap wajahnya yang bening. Menggeleng.

“Karena kau terus memanggilku,” ujarnya lembut.

Hening, aku berharap dia meneruskan kalimatnya, menjelaskan apa maksud kata-katanya.

“Apa maksudmu?”

“Bukankah kau selalu menungguku selama hidupmu?”

“Bagaimana itu menjelaskan keterpanggilan itu?”

“Entah. Angin terus menderaku dengan desaunya, menyuarakan tentangmu. Langit juga terus menggenggam asamu dan melemparkannya ke pelukanku. Aku sendiri tidak tahu. Aku hanya merasakannya, bahkan sejak aku lahir. Setiap kali aku ingin berjalan ke arah yang aku tuju, selalu saja buyar. Kaki akan membawaku ke arah yang berbeda. Mula-mula aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi seiring pemahamanku terhadap semesta ini, aku tahu bahwa ada seseorang yang menungguku. Dan itu kau.”

Hhh… tiba-tiba dadaku terasa sesak. Lagi, rupanya di luar kuasaku aku telah memenjarakan satu jiwa. Jiwa yang seharusnya bebas dari ikatan diriku yang bukan apa-apa ini.

“Kau… menyesal… kita ketemu?” ragu aku bertanya.

Sebuah senyuman tersungging di sudut bibir gadis itu. Kulihat kepalanya menggeleng lembut.

“Untuk suatu alasan, tidak… Kau?”

“Aku?”

“Ya… kau. Apa kau menyesal akhirnya menemukanku?” tanya gadis itu dengan suara bening.

“Entahlah…,” ragu aku menjawab.

“Kau tidak tahu atau sekedar tidak ingin mengatakan apa yang ada di benakmu?” lagi suara beningnya memecah kesadaranku, menohokku dalam.

“Kau ingin aku jujur?”

Lagi, sebuah anggukan.

Hhh… dadaku menyesak. Inilah saatnya menyingkap perasaan yang terus bergejolak di dadaku beberapa hari ini. Kutatap mata gadis itu. Kucari setitik saja keraguannya mendengarkan kejujuran yang akan kuungkap. Tapi, tak kutemukan itu. Dia seperti telah berketetapan hati untuk mendengar kebenaran hatiku, sepahit apapun itu.

Aku sendiri? Siapkah aku untuk ‘telanjang’ di depannya?

Kubiarkan waktu berdetak lalu dalam keheningan sesaat… hingga aku siap untuk berkata-kata.

Tidak ada komentar: