30.6.09

RiSau

Kegamanganku terbelah dalam dua polaritas yang saling bertentangan. Aku menjadi begitu perasa. Sering melamun, memikirkan ketidakberdayaan hatiku menyikapi masalah ini.

Aku ini laki-laki. Seharusnya otakku yang menuntunku, tapi kenapa hatiku yang meraja?

Aku ini orang bebas. Semestinya aku berhak mengambil keputusan apa saja; tinggal dengan perempuan itu, atau mencari gadisku. Tapi, kenapa aku jadi begitu ragu?

Detik berlalu sangat lambat.

Kalian tahu apa yang membuatku begitu merana?

Perempuan itu.

Dia menanyakan kepadaku, siapa yang aku tunggu. Aku yakin dia sudah mengetahuinya. Dia berpura-pura tidak mengetahuinya. Dia hanya minta aku menjawabnya. Dan aku tidak bisa. Aku tidak sanggup. Itu akan menyakitinya. Biarlah aku berpura-pura tidak tahu bahwa ia sudah menjenguk relung hatiku yang paling dalam, dimana gadisku berada.

Semalam ia menyerah. Sambil memelukku, ia mengatakan akan membantuku mencari gadisku.

Gila. Sinting. Tidak masuk akal.

Untuk apa dia mengatakan itu? Bukankah aku laki-laki yang dinantikannya? Kenapa dia berkeras mengatakan akan ikut mencari gadisku. Untukku. Bukankah ia seharusnya justru minta aku untuk berhenti mencari, dan tinggal dengannya. Untuk kebahagiaannya?

Sebersit jawaban melintas di benakku, membuatku menggigil… hhh… dia… dia…

Aku tak kuasa menahan beban emosi di dadaku. Airmataku runtuh tak bisa kubendung. Tubuhku demam. Kupeluk dia. Kusembunyikan wajahku di hangat dadanya. Tak sanggup aku menatap matanya yang begitu dalam dan penuh pengertian itu. Aku, cuma bisa menangis.

Malam itu mimpiku absurd. Ribuan cahaya berguratan tak beraturan. Tak ada bentuk solid sedikitpun yang bisa aku terjemahkan. Aku biarkan diriku tenggelam dalam lautan cahaya, hangat, dingin, bergantian membuai. Ragaku melayang setiap kali cahaya-cahaya itu berkelebatan halus, hingga sebentuk cahaya mengulas pipiku, usapannya yang hangat membangunkanku.

Aku buka mata, aku lihat seraut wajah menatapku lembut. Perempuan itu. Aku lihat ekspresinya yang tidak biasa. Aneh. Ada kelegaan, tapi sekaligus terkandung perih luarbiasa. Aku menatapnya bertanya.

“Seseorang menunggumu,” bisiknya lirih, nyaris tak terdengar.

Semula aku tak tahu apa maksud perkataannya, hingga otak membangunkan seluruh kesadaranku. Aku tercekat. Dadaku berdegup kencang.

Gadisku datang?

Suaraku hilang. Aku menatapnya tak percaya. Aku bahkan tak sadar telah mencengkeram lengannya untuk mendapatkan jawaban.

“Ia menunggumu, di ujung jalan.”

Aku tak sanggup lagi mencerna kata-katanya. Otakku, hatiku, seluruh inderaku terpaku pada sebuah kenyataan bahwa gadisku memang ada. Wujud. Dia ada di ujung jalan, menungguku. Darahku berdesir kencang, bersicepat terpompa jantung. Ingin rasanya segera beranjak dari tempat tidur itu dan keluar untuk melihatnya. Melihat sebuah mimpi yang sekian lama menghantuiku terwujud. Sebuah kenyataan yang semula tak aku yakini ada. Kugeleng-gelengkan kepalaku agar lebih bisa menerima kenyataan itu. Ya. Aku harus menemuinya… harus…

Tapi… tubuhku serasa tertahan… perempuan ini… aku tidak tega meninggalkannya. Aku sangat memahami perasaannya.

Aku menatapnya. Aku mencoba menjenguk hatinya. Aku lihat ia berusaha mengendalikan diri, berusaha tersenyum, sementara aku tahu hatinya gamang luarbiasa.

“Ya, kau akan menemuinya. Kau bisa pergi bersamanya. Tapi, boleh aku minta sesuatu darimu?”

Aku menengarai ia akan mengatakan sesuatu.

“Mandilah, dan pakailah pakaian ini,” ujarnya sambil berdiri. Dia beranjak dan mengambil kotak di atas lemari. Aku tahu persis isinya apa.

Aku menatapnya tidak mengerti. Bukankah baju ini sangat sakral untuknya? Kenapa ia memintaku memakainya?

“Aku ingin kau siap menemuinya. Bergegaslah. Mandi. Siapkan dirimu. Aku menunggu di teras.”

Kali ini, kudengar suaranya begitu tenang. Sangat tenang. Aku bahkan tidak menangkap getarannya yang sesaat tadi sempat muncul. Ia ingin aku pergi. Sepertinya begitu. Hanya itu satu-satunya jawaban yang bisa kutelaah saat ini. Aku tidak diharapkan ada di sini. Dia ingin aku benar-benar pergi. Selamanya.

Kurasakan nyeri di ulu hatiku…

Tidak ada komentar: